Apakah Rabu Wekasan?
Seperti dikutip laman majalahlangitan.com, pada hari Rabu terakhir bulan Shafar
(Hijriyah) animo masyarakat sedikit berubah, kesan mistik dan spiritual
budaya kuno begitu kentara, dari selembaran rajah-rajah (jimat)
berbahasa arab yang tersebar dari tangan ketangan, usungan tumpeng (ambeng:Jawa),
dan doa khusus pada hari yang kemudian terkenal dengan Rabu wekasan
adalah gambaran bahwa, hari Rabu itu bukan hari biasa.
Tradisi-tradisi pada hari Rabu terakhir bulan Shafar
yang merata hampir di seluruh nusantara, khususnya di Jawa, dan ada
sampai sekarang, adalah ritual yang sudah turun-temurun dari ratusan
tahun lalu. Sakralitas pelaksaan upacara atau acara dalam menyambut
"Rabu wekasan", membuat “keangkeran” makin menancap dibenak masyarakat.
Uniknya,
ritual pada "Rabu Wekasan" itu berbeda di setiap daerah. Itu kenapa,
Rabu wekasan terkenal menjadi Rabu pungkasan (Yogyakarta), Rebo kasan (Sunda Banten), Rebbuh bekasen
(Madura) dan Rabu bekas di sebagian daerah. ini tidak lain karena
aplikasi ritual dan keyakinan masyarakat terhadap “Hari keramat”
tersebut sangat tinggi.
Praktek sholat pada
hari "Rabu Wekasan", ternyata sudah turun temurun dilakukan dipelbagai
daerah. Tidak sedikit dari kaum muslimin yang melakukannya secara
berjamaah. Kaifiyah sholat Rabu wekasan ini “agak beda” dengan
sholat pada umumnya. Yakni, sholat empat rokaat dengan satu salaman,
pada masing-masing rakaat setelah Al Fatihah, membaca surat Al Kautsar 17 kali, surat Al Ikhlas 5 kali, Al Falaq 1kali, An Nas 1 kali (pada setiap rakaat), setelah salam membaca doa khusus. Ritual ini sebagaimana yang terdapat dalam kitab Jawahir Al Khomis karya Syeikh Al Kamil Farid Ad Din dan kitab Mujarobat karya Syaikh Ad Dairobi.
Namun, Syeikh Zainuddin murid dari Syeikh Ibnu Hajar Al Maliki dalam kitab Irsyadul Ibad mengatakan bahwa, sholat shafar termasuk Bid’ah madzmumah (tercela). Maka bagi orang yang ingin melaksanakan sholat pada hari itu (bulan Shafar), hendaknya berniat melaksanakan sholat sunnah mutlak (sholat yang tidak dibatasi oleh waktu, sebab dan bilangan).
Hasil keputusan Bahtsul Masail PWNU Jatim 1980 M di PP Asem Bagus yang mengacu kepada pendapat atau fatwa dari Roisul akbar NU Syaikh Hasyim Asy’ari pun mengatakan bahwa, melakukan sholat Shafar (Rabu Wekasan) tidak boleh, karena tidak ada dalil dan masyru’ah dari syara’.
Ritual Rabu Wekasan di pelbagai daerah
A. Upacara Rebo Pungkasan Wonokromo Plered
; Rabu Pungkasan (Rabu Wekasan) bagi masyarakat Yogyakarta memiliki
historis tinggi, upacara ritual yang rutin diadakan pada Rabu akhir pada
bulan Shafar di lapangan desa Wonokromo Plered Bantul Yogyakarta
ini berlangsung sejak 1784 M, ada juga mengatakan sudah ada sejak tahun
1600 M. latar belakang dari upacara ini adalah pertemuan antara Sri
Sultan Hamengkubuwono I dengan Kiai Faqih Utsman, seorang ulama yang
menjadi penasehat spiritual Raja Ngayogyakarta sekaligus tabib
(ahli pengobatan) yang mampu menyembuhkan penyakit yang menyerang warga
Wonokromo. Tempat pertemuan di tempuran Kali Opak dan Kali Gajah Wong.
Di Bantul, Tradisi Rebo Wekasan atau
Rebo Pungkasan dilaksanakan sebagai wujud ungkapan rasa syukur kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa. Puncak acara dalam tradisi ini adalah kirab
lemper (makanan yang terbuat dari beras ketan) raksasa berukuran tinggi
2,5 m dengan diameter 45 cm dari Masjid desa Wonokromo menuju Balai Desa
Wonokromo. Kirab ini diawali dengan barisan Kraton Yogyakarta, disusul
lemper raksasa, dan kelompok kesenian rakyat seperti sholawatan, kubrosiswo, rodat
dan sebagainya. Lemper raksasa tersebut dibagikan kepada para undangan
yang hadir, sedangkan gunungan makanan yang lain diperebutkan oleh
masyarakat untuk dibawa pulang. Karena dianggap mempunyai berkah bagi
yang bisa membawa pulang. Pergelaran tradisi ini juga diisi dengan pesta
rakyat, berupa pasar malam dan pergelaran seni tradisional.
B.
Ritual Rabu terakhir di Gresik lain lagi, tradisi yang sudah ada
dari ratusan tahun lalu itu lebih terlihat sebagai acara sebagaimana khaul
atau acara pengajian pada umumnya. Ini tak lain pada hari jadi, di Suci
Gresik diadakan acara selametan dan pengajian umum serta ajang
silaturahmi. “Di suci Gresik, acara Rabu wekasan adalah acara
silaturahmi” begitu komentar tokoh yang tidak mau disebutkan namanya.
“Jadi ada hikmah besar yang dapat diambil manfaat dalam perayaan Rabu
wekasan di sini” lanjut beliau.
C. Ngapem, Ngirap dan Rebo Wekasan, adalah tradisi Saparan Cirebon. Ngapem,
berasal dari kata Apem, yakni kue yang terbuat dari tepung beras yang
difermentasi. Apem dimakan disertai dengan pemanis (Kinca) yang terbuat
dari gula jawa dan santan. Umumnya, masyarakat Cirebon sampai sekarang
masih melakukan ini dengan membagi-bagikan ke tetangga. Ini adalah
ungkapan syukur (Selametan) di bulan Sapar (Jawa) agar kita terhindar dari malapetaka.
Ngirab,
yang artinya bergerak atau menggerakkan sesuatu untuk membuang yang
kotor, adalah adat masyarakat Cirebon mandi di sungai Drajat (petilasan
Sunan Kali Jaga). Dengan menggunakan perahu, mereka ngalap berkah di sungai yang konon tempat Sunan Kali Jaga membersihkan diri, pada Rebo wekasan saat berguru kepada Sunan Gunung Djati. Rebo wekasan,
ritual ini biasanya terlihat ketika segerombolan anak-anak kecil
berkopyah dengan sarung yang dikalungkan ke badannya ,berkeliling dari
rumah ke rumah masyarakat sambil menyenandungkan nyanyian “Wur Tawur nyi tawur, selamat dawa umur…”
(Bu, bagikanlah sesuatu ke kami, semoga selalu sehat, aman dan panjang
umur..). Yang artinya, selamatlah Anda setelah hari Rebo terakhir ini.
Biasanya, si empu rumah akan menanyakan, “Sing endi cung?” yang
akan dijawab oleh gerombolan tadi, dari pesantren, kampung atau daerah
mereka tinggal. Ritual unik itu berlangsung sesudah sholat Isya’ sampai
Subuh.
D. Rabu Wekasan di Jember
diisi dengan antrian masyarakat mengabil air yang diyakini memberi
berkah. Ini terjadi di desa Wringin Agung Jombang, Jember Jawa Timur,
pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, masyarakat berduyun-duyun antri di
sebuah gentong mengambil air darinya, yang diberi piring bertuliskan
rajah Arab. Mereka yakin bisa menolak 313.000 bala’.
Di Pelbagai daerah lain, pada Rabu Wekasan, masyarakat mengadakan selametan
di musholla dan masjid-masjid desa. Ada yang mengadakannya dengan
membaca istighosah, Yasinan, dan dzikir atau bacaan-bacaan pujian
lainnya. Yang jelas, orientasi mereka hanyalah aplikasi syukur kepada
Allah, dan berdoa agar terjaga dari mara bahaya.
Tentunya,
ketika ritual dan tradisi berisi amaliyah baik yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat selama tidak bertentangan dengan Al-qur’an, Hadits, Ijma’ dan Atsar bukanlah sebuah bid’ah yang dlolalah. Bahkan, menurut Imam Syafi’I, yang ditulis oleh Ibnu Hajar dalam kitab Syarah Fathul Mubin mengatakan :
َما
أَحْدَثَ وَخَالَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا أَوْ أَثَراً
فهو البِدْعَة الضَالَّة، وَما أحْدَثَ مِن الخَيْرِ ولم يُخَالِفْ شَيْئًا
من ذَلِكَ فهو البِدْعَة المَحْمُودَة
“Sesuatu
yang bertentangan dengan Alqur’an, Hadits, Ijma’ dan Atsar adalah bid’ah
dlolalah (sesat), sedangkan amaliyah baik yang tidak bertentangan
dengan hal tersebut, maka ia adalah bid’ah yang mahmudah (terpuji)”. Wallahu a’lam.
Dikutip dari: